Ikut? Tidak? Ikut? Tidak? IKUT!!!
Bagi yang belum tau, akan saya ceritakan ulang latar belakang saya. Jadi, sejak awal menekuni olahraga parkour, saya selalu menganut aliran parkour non-kompetisi (old school parkour). Di samping memang skill yang biasa-biasa saja, saya pun tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian karena kepribadian saya yang kebetulan introvert. Alasan utama saya masih menekuni olahraga ini hingga sekarang ya karena aspek kekeluargaannya. Berkat parkour, bersyukur saya bisa mendapat banyak teman dari berbagai kota di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri juga. Bagi saya ini adalah anugerah tak ternilai yang jauh melebihi uang dan kekayaan sekalipun.
Hanya saja, di sisi lain, tentu kita tak bisa membendung perkembangan zaman. Popularitas parkour yang semakin meningkat dari waktu ke waktu pastinya membuat komersialisasi tak terhindarkan lagi, dan kompetisi adalah salah satu bentuknya. Tunggu… jangan salah paham dulu, sedikit pun saya tidak menentang, apalagi sampai membenci kompetisi parkour. Justru saya malah senang melihat teman-teman yang ber-skill tinggi di parkour bersaing secara sehat demi menjadi yang terbaik, karena secara tidak langsung memang kompetisilah yang membuat olahraga parkour ini semakin berkembang. Hanya saja, seperti yang saya utarakan di awal, kompetisi tidaklah cocok bagi saya.
Berbicara soal kompetisi, kebetulan pada tanggal 12-13
Agustus 2023 lalu diadakan acara Parkour Asian Tour di AEON Mall BSD
City, Tangerang. Acara ini diselenggarakan oleh FIG (Federasi Gimnastik
Internasional) yang berkolaborasi dengan PB Persani (Pengurus Besar Persatuan
Senam Seluruh Indonesia), serta disponsori oleh Brick (Perusahaan
Perancis spesialis pembuat obstacle parkour).
Jujur, bila hanya sebatas kompetisi/unjuk skill, tentu saya
tidak terlalu tertarik menghadirinya. Namun begitu menyadari siapa yang menjadi
bintang tamunya, bener-bener bikin saya dilema. Mereka adalah Stephania Zitis
(Australia), Javier Rodriguez (Meksiko), Audrey Johnson (USA), Caryl Cordt-Moller (Swiss), Sergio “Steel” Campos (Spanyol), dan juga sang legenda
Yamakasi yang saat ini menjabat sebagai Presiden Komisi Parkour di FIG, Charles Perriere (Perancis). Setelah 1-2 mingguan bergumul apakah ikut/tidak, akhirnya
di saat-saat terakhir barulah saya memutuskan hadir, meski cuma sebagai
penonton saja. Pertimbangannya adalah, kapan lagi bisa bertemu dengan mereka?
Khususnya Stephania, yang kebetulan saya pernah berjumpa dengannya di LCG 2016,
2017, dan 2018.
Sampai di hari pertama penyelenggaraan (12 Agustus), saya
bahkan sama sekali tidak tau rundown acaranya seperti apa, pokoknya yang
penting hadir dan setor muka dulu ke teman-teman yang lain. Beruntung di
saat-saat terakhir, saya masih bisa mendaftar untuk ikut workshop, yang
kebetulan diadakan di hari kedua. Jadi dengan kata lain, jadwal saya free di
hari pertama.
Untuk agenda hari pertama sendiri dipertandingkan kompetisi
speed. Ada tiga kategori umur yang berpartisipasi, yaitu 12 tahun ke
bawah, 13-17 tahun, dan di atas 17 tahun. Detail teknis lebih lanjutnya tidak
akan saya ceritakan lagi karena sudah banyak dibagikan di tempat lain. Yang
jelas, terlepas dari siapa yang berkompetisi, siapa yang menang, maupun teriknya cuaca hari itu,
saya benar-benar merasa bahagia. Rasanya ingin waktu berhenti saja di momen ini,
sehingga kita semua dapat berkumpul dan berlatih parkour untuk selamanya.
Sepanjang hari, saya habiskan untuk bersilaturami dengan
sebagian besar teman-teman parkour, baik yang sudah lama tidak berjumpa, maupun
yang baru saja bertemu di jamreg Jatim Juni lalu, kadang diselingi juga dengan
bantu memvideokan beberapa teman yang ikut kompetisi. Baru menjelang sore hari
saya ikutan sesi free jamming begitu kompetisi speed telah selesai.
Setelah puas ngobrol-ngobrol, ±pukul 19.00 saya baru
meninggalkan arena bersama Ferdinand, Yla, Vyel, mbak Lini, dan teman-teman
dari Parkour Bekasi menuju ke apartemen yang mereka sewa, tidak jauh dari AEON
Mall. Sebagian ada yang numpang mobil mbak Lini, sebagian lagi berjalan kaki ke
sana, termasuk saya.
Saya menghabiskan waktu nongkrong di sana hingga ±pukul
01.30 subuh. Begitu sebagian besar sudah pada tidur, barulah saya cabut menuju
kos-kosan harian yang saya sewa. Awalnya sempat ditawari untuk tidur di
apartemen saja, namun berhubung sudah terlanjur booking, mubazir rasanya bila
tidak ditempati.
Hari ke-2, setelah check out dan sarapan, segera saya berangkat
menuju AEON Mall via Gojek. Hari ini yang dipertandingkan adalah freestyle
dan skill. Terlihat di arena para peserta sudah melakukan pemanasan serta
mulai menguji coba trik-trik pada obstacle-nya. Seperti biasa, saya cukup
menjadi penonton saja sambil bantu-bantu memvideokan beberapa teman yang
bertanding, sambil menunggu sesi workshop di sore harinya.
Terkadang, yang namanya nasib sial bisa datang kapan saja
tanpa kita prediksi. Sayangnya, saya harus mengalaminya di tengah-tengah sesi
workshop. Saat hendak melakukan kongpre, lutut saya membentur obstacle hingga
mengakibatkan saya jatuh terjerembap ke depan, dan muka saya pun tak
terhindarkan lagi “berciuman” dengan aspal. Mulut sobek, tulang pipi memar, serta
kedua lutut bengkak; itulah oleh-oleh yang saya dapatkan dari Parkour Asian
Tour ini.
Sempat diusulkan untuk segera dijahit ke klinik oleh tim
medis, namun tentu saya tolak, karena sedetik pun saya tidak mau melewatkan
momen acara ini hingga usai. “Biarlah untuk pengobatan/pemulihan menjadi urusan
pribadi. Selama masih bisa gerak, saya akan terus lanjut jamming”, demikian
jawaban saya ke mereka. Dengan kedua lutut yang mulai bengkak dan kerasa ngilu,
saya tetap lanjut mengikuti workshop + jamming tipis-tipis. Istirahat? Apa itu
istirahat? Persetan dengan recovery, yang penting jamming jalan terus. Waktu
tidak bisa diulang cuk!
Menjelang malam hari, sampailah kita di penghujung acara. Para
pemenang pun diumumkan, lalu dilanjut dengan pidato penutupan, foto bersama, dan
ditutup dengan after party dance. Tidak lama kemudian para bintang tamu
internasional pun segera kembali ke hotel untuk beristirahat, karena besok paginya
mereka harus melanjutkan perjalanan ke Malaysia, yang merupakan negara ke-2 dalam
rangkaian Parkour Asian Tour 2023 ini.
Sementara saya dengan teman-teman yang lain masih
bercengkerama dan foto-foto bersama untuk terakhir kalinya sebelum berpisah
menuju kota masing-masing. Waktu sudah menunjukkan ±pukul 20.00; tenda sudah mulai
dibongkar, sampah-sampah dibersihkan, dan arena berangsur-angsur menjadi sepi. Tinggallah tersisa sebuah kenangan indah yang membekas, meski agak sedih juga kenapa 2 hari ini
waktu berlalu begitu cepat. Tapi ya sudahlah, karena bagaimanapun, di mana ada
perjumpaan, di situ ada perpisahan. Semoga kita semua bisa berkumpul lagi di event-event selanjutnya.
Di luar kesuksesan penyelenggaraan acara ini, saya pun menyadari
bahwa ada polemik antara PB Persani vs PKID, yang merupakan turunan masalah dari
FIG vs komunitas parkour internasional (yang menentang akuisi gimnastik). Tentu
ini bukan masalah tentang siapa benar dan siapa salah, karena bagi saya ini cuma
sebatas perbedaan kepentingan yang sangat, sangat bisa diupayakan jalan
tengahnya, tanpa harus merambat menjadi konflik yang lebih besar.
Dari sudut pandang komunitas parkour, pastinya kita ingin
agar olahraga yang kita cintai ini tetap sebagaimana adanya tanpa diutak-atik
lagi oleh pihak luar. Namun bila dilihat dari sudut pandang FIG – PB Persani,
dengan keunggulan finansial dan networking yang mereka miliki, tentu bisa
menjadi sarana/wadah bagi anak-anak muda di Indonesia yang memang bercita-cita menjadi
atlet parkour profesional. Apalagi kalau bisa sampai mewakili Indonesia di ajang
internasional seperti SEA Games atau Olimpiade, siapa yang tidak bangga bisa
seperti itu?
Sementara bagi yang hanya ingin menjadikan parkour sebatas
hobi (termasuk saya), sudah dari dulu diwadahi oleh PKID dengan berbagai event
gathering seperti jamreg dan jamnas. Tentu harapan saya agar ranah yang ini jangan
diutak-atik lagi, biarkan saja ke depannya tetap seperti ini. Karena melalui
event-event gathering inilah keakraban dan kekeluargaan antar praktisi parkour
di Indonesia terjalin. Bahkan di luar status sebagai teman parkour, bisa meningkat
lagi jadi teman akrab, atau bahkan ada yang sampai berjodoh.
Jadi, meski olahraga yang ditekuni sama, namun memang lebih
baik dibuat saja 2 jalur yang berbeda tanpa harus saling mengintervensi. Biarkan
masing-masing orang memilih yang terbaik bagi dirinya. Tentu, pada akhirnya keputusan
final berada di tangan para petinggi organisasi. Saya yang bukan siapa-siapa
dalam dunia per-parkouran Indonesia hanya bisa berharap yang terbaik.
Dan terakhir, bila ada yang bertanya kepada saya, “buat apa
menekuni parkour kalau tidak mau berkompetisi?”, dengan bangga saya akan menyebut
diri saya… praktisi parkour silaturahmi.
Comments
Post a Comment