Suatu Hari di Singapore
Waktu menunjukkan ±pukul
23.00, tapi sedikitpun saya belum packing barang dan bersiap-siap. Padahal
besoknya, tanggal 27 Januari 2016, pesawat menuju Singapore berangkat pukul
09.50. Sampai dengan ±pukul
01.30 saya dan Andreas masih mengguntingi ±1800 stiker LCG di rumahnya,
ditambah lagi harus membungkus 200 kaos + gelang karet LCG. Sekalipun secara
fisik cape dan ngantuk, tapi pikiranku begitu antusias, karena kurang dari 24
jam lagi untuk pertama kalinya saya akan menginjakkan kaki di Singapore. Dan
karena sampai stiker beres diguntingi saya belum juga packing, sementara waktu
sudah subuh, alhasil saya memutuskan untuk tidak tidur semalaman, supaya begitu
selesai packing bisa langsung berangkat ke bandara Juanda, bersama Andreas dan
Saga.
Sembari mengguntingi
stiker, terbersit juga rasa bangga di dalam diriku. Bagaimana tidak... secara
tidak langsung saya bisa turut berkontribusi dalam sebuah event parkour internasional,
sekalipun hanya di balik layar saja. Ketua Panitia LCG, Koh Chen Pin (CP),
mempercayai Andreas untuk mengkoordinir seluruh produksi kaos, stiker, dan
gelang untuk acara. Saya pun dengan senang hati membantu segala prosesnya. Saya
juga merasa puas karena setelah hampir setahun menabung, akhirnya terkumpul
juga uang untuk LCG.
FLASHBACK
SETAHUN YANG LALU...
6 Februari 2015... untuk
pertama kalinya diselenggarakan Lion City Gathering di Singapore, sebuah event
parkour internasional yang menghadirkan praktisi dari berbagai negara. Tidak
hanya dari Asia saja, tapi juga hadir praktisi parkour dari Australia, Eropa,
dan Amerika. Saat itu ingin sekali rasanya ikut, tapi sayangnya tidak ada uang.
Jadi akhirnya saya hanya bisa melihat dengan iri timeline facebook teman-teman
yang mengikutinya, sambil bertekad dalam hati untuk menabung agar bisa ikut LCG
2016. Praktis pasca LCG 2015 yang ada di
pikiran saya hanyalah bagaimana cara mengumpulkan uang agar bisa ikut LCG 2016,
tidak lupa juga membuat paspor sebagai syarat utama bepergian ke luar negeri..
KEMBALI KE MASA KINI...
Akhirnya
pukul 13.15 waktu Singapore pesawat mendarat di Bandara Changi. Kesan pertama
yang saya tangkap dari Singapore adalah warganya sangat disiplin dalam
menjalani aktivitas sehari-hari, dari mulai buang sampah pada tempatnya, tertib
mengantri, dan patuh pada peraturan lalu-lintas. Semuanya begitu serba teratur,
membuat saya sedikit agak merasa minder karena sangat kontras dengan apa yang
terjadi di Indonesia.
Terlepas
dari itu, saya benar-benar sangat antusias menanti jamming bersama dengan para
praktisi parkour dari berbagai negara. Okelah mungkin skill parkour saya tidak
ada apa-apanya dibanding mereka, tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah
cari relasi/teman sebanyak-banyaknya, sambil berjualan kaos Avolution dan
celana Malingkondank bersama Andreas tentunya.
Pada
hari ketiga di Singapore, Andreas harus pulang terlebih dulu ke Semarang karena
akan menghadiri acara Pro Jam di sana. Alhasil saya dan Saga akhirnya ke
mana-mana bersama dengan anak-anak Vietnam dan juga Phillip (praktisi Parkour
Singapore) sebagai guide-nya. Selain jamming parkour, kita juga jalan-jalan ke
Clarke Quay dan Chinatown sambil cari makanan murah. Dan untuk tempat tinggal,
kita harus berterima kasih kepada Wellington Wu, karena dia menyediakan rumah
keduanya untuk kita tidur dan nongkrong bersama. Tidak hanya saya, Saga,
Phillip, dan anak-anak Vietnam saja yang tinggal di situ; tapi juga banyak
praktisi dari Australia, Belanda, Perancis, Hongkong, US, Inggris, Jerman,
Swedia, dan negara lain yang mungkin lupa disebut, berkumpul bersama-sama di
rumah Wellington. Kita tidak pernah kehabisan bahan obrolan, masing-masing dari
kita saling sharing tentang kebiasaan dan budaya negara masing-masing sampai
larut malam. Sungguh kenangan yang tak akan terlupakan.
Hari-hari
selanjutnya dihabiskan dengan jamming dari satu spot ke spot lainnya, seperti
Bedok Maze, Clementi, Bishan, dan juga daerah-daerah lain yang saya lupa
namanya. Selain spot outdoor, kita juga berlatih di ruangan indoor seperti
Kraken Gym dan Freerunner Lodge. Jujur, dari spot satu ke spot lainnya saya
hanya melakukan jamming sederhana saja tanpa melakukan lompatan-lompatan besar,
karena seperti yang saya bilang sebelumnya, skill parkour saya tidak ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan kebanyakan praktisi lain yang jauh lebih
jago dan kuat dibanding saya. Saya pun mengakui bahwa progress skill parkour
saya memang lambat. Tapi satu hal yang pasti, selama fisik masih mampu, saya
tidak akan berhenti berparkour meskipun umur sudah 40 atau 50 tahun.
Setelah 3 hari rangkaian acara LCG 2016 selesai, besoknya masih ada satu lagi acara informal bagi praktisi yang memperpanjang hari tinggalnya di Singapore, yaitu jamming di Katapult Trampoline Park. Secara tidak langsung bisa dibilang ini merupakan “hari ke-4 LCG”, sekalipun tidak semuanya bergabung karena ada yang sudah pulang ke negaranya masing-masing atau ada yang punya jadwal acara sendiri. Jamming trampolin berlangsung dari pukul 19.00-21.00, di mana peserta LCG yang tersisa terlihat begitu antusias berlatih salto ataupun hanya sekedar loncat-loncat biasa di atas trampolin. Momen yang paling berkesan adalah waktu menjelang acara berakhir, saat CP menyampaikan sepatah-dua patah kata pidato penutupan. Di saat yang hampir bersamaan semua orang meneriakkan yel-yel “LCG!! LCG!! LCG!!”, dan diakhiri dengan foto bersama untuk terakhir kalinya. Tidak peduli dari mana asal negara, suku, agama, bahasa; semua orang menyatu dan membaur dalam keluarga PARKOUR, sungguh indahnya kebersamaan ini.
Sayang
malam itu juga semua harus berakhir, sebagian besar peserta yang tersisa harus
segera pulang ke negara masing-masing antara tengah malam atau besok paginya,
sebagian ada yang masih tinggal beberapa hari lagi di Singapore. Begitu keluar
dari lokasi trampolin, kita saling mengucapkan salam perpisahan dan berpencar
dalam beberapa grup kecil. Saya dan Saga sendiri ikut bergabung dengan grup CP
mencari makan malam, kemudian langsung menuju bandara Changi untuk menginap di
sana. Kita mengejar pesawat pulang ke Surabaya pukul 07.50 besok paginya,
tanggal 2 Februari 2016.
Saat
mendarat di Surabaya, rasanya seperti terbangun dari mimpi, kembali lagi ke
rutinitas harian seperti sediakala. Bagaimanapun juga, trip ke Singapore ini
hanyalah permulaan. Masih ada 9 negara Asia Tenggara lainnya yang harus dikunjungi
demi memenuhi nazar yang telah kubuat, untuk itulah saya harus bekerja keras dan mulai menabung lagi dari sekarang..
Comments
Post a Comment