Cerita Ian & Mar



Entah sudah berapa kali saya diajak ngomong Bahasa Tagalog sejak menginjakkan kaki di Bandara Internasional Ninoy Aquino. Bisa jadi karena kemiripan wajah antara orang Indonesia dan Filipina yang membuat kita sulit dibedakan bila tidak menunjukkan paspor masing-masing. Namun terlepas dari itu, ada perasaan antusias luar biasa yang menyelimuti diri saya. Hari itu, Rabu 23 November 2016, untuk pertama kalinya dalam hidup saya melakukan solo traveling ke luar negeri, dan tentu saja ini juga adalah kunjungan perdana saya ke Filipina, negara yang kebudayaannya sangat mirip dengan Indonesia.


Setelah menyelesaikan urusan imigrasi dan menukar uang dengan Peso, tidak berapa lama kemudian saya dijemput oleh Ian dan Mariann, sepasang kekasih yang dalam waktu 3 hari ke depan akan mengikat janji suci di pelaminan. Merekalah alasan utama saya berangkat ke Filipina. Sejak lebih dari 6 bulan yang lalu, saya sudah diundang ke pernikahan mereka via Facebook. Sempat galau antara datang/tidak karena kurang yakin tabungan mencukupi, tetapi bersyukur saat H - 1,5 bulan uang sudah terkumpul dan langsung segera saya booking tiket pesawat ke Manila.

Selama perjalanan menuju rumah Ian, kita bertiga saling ngobrol satu sama lain melepas kangen sambil dikelilingi oleh macetnya lalu lintas kota Manila, yang rasanya 11-12 seperti Jakarta. Sejenak pikiran saya kembali ke empat tahun lalu, saat pertama kali kenal dengan Ian...



2012

Ian, Stanley, saya, Richie

September 2012, saat itu sedang diselenggarakan Jamming Nasional Parkour Indonesia ke-4 di Surabaya, saya pun waktu itu masih mewakili Parkour Bandung. Di situlah untuk pertama kalinya bisa kenal dengan Ian, Richie, dan Stanley. Awalnya saya pikir Ian adalah orang Singapore (bersama dengan Richie dan Stanley), namun setelah kenal lebih jauh barulah saya tahu dia adalah orang Filipina yang saat itu sedang bekerja di Singapore.

Sejak saat itu, hanya dua kali kesempatan saja saya bertemu Ian sebelum pertemuan di Filipina kali ini. Pertama saat Ian mampir ke Bandung tahun 2015, yang kedua waktu LCG 2016 Januari lalu. Di LCG 2016 itu juga untuk pertama kalinya saya kenal dengan Mariann.





KEMBALI KE MASA KINI..

Setelah ±1 jam perjalanan menembus macetnya Manila, sekitar pukul 22.30 sampailah juga kita bertiga di rumah Ian. Di sana sudah ada teman-teman parkour lain yang juga diundang ke pernikahan ini. Mereka adalah Leonard, Wellington, Jeremi, dan Faiz dari Singapore; lalu ada Takuya dari Jepang. Kemudian setelah mandi dan berganti pakaian, saya pun ikut ngobrol ngalor-ngidul dengan mereka hingga larut malam.

Besok paginya, setelah sarapan bersama, kita berenam menyewa Grab Car untuk menuju Ninja Academy di daerah Pasig. Sementara Ian dan Mariann menuju Bandara Ninoy Aquino untuk menjemput satu orang lagi tamu undangan dari Inggris, yaitu Tim Champion. Dia baru akan mendarat di Manila sekitar pukul 13.00 waktu setempat.




Seharian kita puas jamming di ruangan parkour indoor Ninja Academy, ditambah lagi dengan berlatih flip di kolam busa, sungguh momen latihan yang tak terlupakan. Hanya saja sayang saat itu kaki kiri saya sedang mengalami cedera engkel, sehingga tidak bisa 100% maksimal dalam bergerak. Dalam hati saya bertekad suatu saat harus mengunjungi tempat ini lagi dalam keadaan fit, entah kapan.


Selepas dari Ninja Academy, sekitar pukul 19.00 kita semua menuju Hotel Orchid Garden Suites. Di sana kita sudah disambut oleh Mickie dan Zerge, dua teman akrab Ian. Mereka adalah koordinator acara Bachelor Party-nya Ian. Sekalipun bukan malam terakhir Ian sebagai bujangan, tetapi memang inilah waktu yang paling tepat untuk merayakan saat-saat terakhirnya sebelum menikah. Karena besok Jumat (H - 1) seluruh keluarga + tamu parkour luar negeri harus segera berangkat ke kota Tagaytay, tempat di mana dilangsungkan pernikahan tersebut.



Sekitar pukul 14.00 besoknya, kita semua berangkat dari rumah Ian menggunakan mobil van yang disewa oleh keluarganya. Perjalanan ke Tagaytay memakan waktu sekitar 2 jam, ibaratnya seperti dari Surabaya ke Malang atau Jakarta ke Bandung. Berbeda dengan Manila yang penuh gedung pencakar langit dan kemacetan, Tagaytay merupakan kota berhawa sejuk dengan banyak bukit di sekelilingnya.

Begitu sampai di Tagaytay, kita semua langsung menuju tempat penginapan di Hotel Days. Di belakang kamar hotelnya terhampar pemandangan indah berupa danau dan bukit-bukit. Namun sayang saat itu cuaca sedang mendung dan gerimis, sehingga kita memutuskan untuk beristirahat sejenak di kamar hotel.




Acara lalu dilanjutkan dengan makan malam dan juga survei lokasi pernikahan di Angelfields Nature Sanctuary, semacam gedung serbaguna yang dikelilingi oleh pepohonan serta taman yang luas, sangat cocok digunakan untuk acara garden party/pernikahan outdoor. Hanya saja, semakin malam hujan malah turun semakin deras, sehingga pihak keluarga memutuskan untuk mengganti lokasi resepsi ke bagian aula indoor-nya. Sangat riskan bila tetap memaksakan pesta pernikahan outdoor dengan kondisi cuaca seperti ini. Di tengah guyuran hujan, saya dan teman-teman parkour yang lain pun turut membantu memindahkan properti pernikahan dari mobil van ke salah satu rumah di kompleks Angelfields.


Begitu kembali ke hotel, kita belum bisa bersantai-santai, masih ada satu “tugas” lagi yang harus diselesaikan, yaitu berlatih koreografi dance singkat untuk acara resepsi besok. Jujur, saya ada di posisi serba salah saat itu. Mau menolak pastinya sungkan dengan Ian, tapi bila mengiyakan takut malu-maluin, karena saya bukanlah seorang dancer dan memang tidak memiliki basic nge-dance sama sekali.

Namun tekad saya untuk memberi kesan terbaik kepada Ian, Mariann, dan teman-teman lainnya membuat rasa malu itu dikesampingkan sementara. Toh lagipula saya berada di negara lain di mana hampir semua orang tidak kenal saya, jadi buat apa malu?!

Selama beberapa jam ke depan kita berdelapan berlatih koreografi dance satu demi satu gerakan secara bertahap. Ian, Tim, Takuya, Leonard, Wellington, Jeremi, Faiz, dan saya; kita semua bersatu padu demi menyuguhkan penampilan terbaik di depan Mariann saat resepsi besok. Sekedar info saja, sampai saat itu Mariann sama sekali tidak tahu perihal surprise dance ini, untuk itulah kita berlatih habis-habisan hingga lelah malam itu.







HARI PERNIKAHAN


Sabtu, 26 November 2016, hujan gerimis masih mengguyur kota Tagaytay. Namun itu tidak sedikitpun mengurangi antusiasme kita untuk bersiap-siap sejak pagi. Selepas breakfast, langsung kita mandi dan berganti pakaian dengan kemeja, lalu meluncur menuju Angelfields Nature Sanctuary. Begitu tiba di sana, segera kita berdelapan menyempatkan diri melakukan 1-2 kali gladi resik dance di ruang resepsinya (tentu saja tanpa sepengetahuan Mariann yang sedang di-make up pengantin saat itu).


Kemudian selama beberapa jam ke depan, kita menghabiskan waktu di salah satu pondok/saung di kompleks Angelfields sembari menunggu acara dimulai. Di sela-sela waktu tersebut tentu saja Ian segera bersiap-siap ganti pakaian pengantin di ruang tata rias, sementara saya sendiri memanfaatkan momen ini untuk mengajak ngobrol beberapa anggota keluarga lain yang juga turut menunggu bersama di pondok.

Tidak berapa lama setelah hujan lumayan reda, Ian pun selesai berganti pakaian dengan baju pengantin, dan acara berlanjut ke sesi foto antara pengantin pria dengan para bestman. Sangat senang bisa melihat mereka kompak dan gembira selama sesi pemotretan, khususnya untuk Ian yang dalam hitungan jam akan bersanding bersama Mariann dengan gaun putihnya di pelaminan.



Akhirnya saat yang dinanti-nantikan pun telah tiba. Sekitar pukul 14.30, prosesi pemberkatan nikah segera dimulai. Sungguh bangga sekaligus terharu rasanya bisa menyaksikan langsung detik-detik Ian dan Mariann resmi menjadi pasangan suami-istri. Pastinya ini adalah momen tak terlupakan seumur hidup bagi semua yang hadir di Angelfields.






Setelah acara pemberkatan selesai; pengantin, bestman, dan bridesmaid langsung melakukan sesi foto outdoor di taman seberang ruangan resepsi. Bersyukur juga hujan sudah sepenuhnya berhenti, sehingga para tamu undangan pun bisa jalan-jalan/berfoto dengan leluasa di sekitar taman. Sementara saya dengan teman-teman parkour yang lain ikut meramaikan stand games di lantai 2 gedung.







Kurang lebih pukul 18.30, resepsi pernikahan akhirnya dimulai. Seluruh tamu undangan sudah duduk sesuai dengan nomor meja masing-masing, dan MC pun membuka acara dengan kata sambutan terhadap anggota keluarga kedua mempelai. Di sinilah saat-saat yang cukup mendebarkan bagi saya beserta teman-teman parkour yang lain, karena tidak lama lagi kita akan melakukan perform surprise dance untuk Mariann di hadapan seluruh tamu. Untung saja saya melakukan perform ini di negara lain, sehingga kalau sampai terlihat malu-maluin setidaknya tidak ada yang menertawai. Yang jelas saya tak akan mau melakukan ini bila di Indonesia.

Tidak lama setelah selesai makan malam, MC pun langsung memanggil kita berdelapan ke depan panggung. Selama beberapa menit ke depan kita membuang semua rasa malu yang ada demi memberikan kesan terbaik untuk Mariann. Entah penampilan kami bagus/jelek, yang jelas bersyukur Mariann cukup terkesan dengan surprise dance yang berakhir dengan backflip Ian tersebut.





Acara lalu berlanjut ke sesi games, dansa romantis Ian-Mariann, serta pidato kesan-pesan oleh Mharya, Maryss (adik Mariann), dan juga Leonard. Kemudian menjelang saat-saat terakhir, ditampilkanlah seluruh rekap video prosesi pernikahan hari itu diikuti oleh pidato Ian-Mariann serta sepatah-dua patah kata penutup dari MC. Dengan demikian berakhir sudah seluruh rangkaian acara resepsi di hari itu. Dan sebelum kembali ke hotel, untuk mengabadikan momen selama di sana kita pun melakukan sesi foto box bersama.


Sekembalinya ke hotel, barulah kita bertujuh bisa bersenang-senang menikmati waktu bebas yang ada. Saat itu kurang-lebih sudah pukul 23.00; tetapi Leonard, Jeremi, Wellington, Faiz, Tim, dan saya memutuskan untuk berenang di kolam air dingin yang terletak tidak jauh di belakang kamar. Sementara Jeremi dan Takuya bereksperimen dengan kameranya untuk mengambil gambar/video kita berlima. Saat itu kondisi cuaca tidak hujan, namun cukup berangin dan juga dipenuhi kabut. Biarpun begitu, sedikitpun tidak mengurangi kesenangan kita dalam berenang/berlatih flip di situ.



Sekitar pukul 01.00, begitu selesai berenang, kita belum memutuskan untuk tidur. Karena itu adalah malam terakhir di Tagaytay, kita ingin puas-puasin dulu di sana. Jadi begitu selesai mandi dan berganti pakaian, langsung lanjut jalan-jalan malam menuju monumen yang berada di bundaran jalan tidak jauh dari hotel. Di sana kita foto-foto sambil melakukan eksperimen kamera. Kabut tebal + sorotan lampu monumen membuat hasil foto/video yang diambil menjadi semakin unik. Dan setelah ±2 jam puas jalan-jalan keluar, kita pun kembali ke hotel dan beristirahat.








KEMBALI KE MANILA

Minggu, 27 November 2016, tak disangka sejak pagi cuaca begitu cerah, tidak seperti 2 hari sebelumnya. Tapi sayang kita harus segera meninggalkan Tagaytay dan kembali ke Manila. Setelah mandi dan berkemas-kemas, kita pun langsung berangkat menuju Restoran Antonio. Di sana sudah menunggu Ian dan Mariann beserta keluarga besarnya. Kita pun sarapan bersama sambil ngobrol-ngobrol untuk mengenal lebih jauh dengan mereka.

Sekitar pukul 11.30, berakhir sudah acara makan bersama keluarga Ian-Mariann yang ditutup dengan sesi foto bersama, dan ini juga berarti saatnya berpisah dengan Wellington. Dia harus mengejar jadwal pesawat pulang ke Singapore pada pukul 17.00. Untuk itulah Ian dan Mariann langsung mengantarnya ke Bandara Ninoy Aquino saat itu juga, sementara yang lain tetap ikut ke dalam mobil van.


Setibanya di Manila, kita semua langsung menuju ke Ninja Academy di daerah Las PiƱas. Di sana sudah menunggu teman-teman dari Parkour Filipina yang lain seperti Sherwin, Benjo, Jaime, Tirona, dll. Selain itu hadir juga Ben Reddington, teman akrab Tim Champion dari Inggris. Selama 2-3 jam ke depan kita berlatih sepuasnya di sana, menjajal berbagai obstacle yang tersedia. Saya sendiri salahnya terlalu memaksakan diri dalam berlatih tanpa memedulikan kondisi engkel kaki kiri yang cedera, sehingga seusai latihan malah engkel saya bengkak lagi :p





Tapi itu tidak seberapa masalah buat saya, karena momen jamming bersama dengan teman-teman parkour dari berbagai negara jauh lebih berharga daripada cedera “kecil” yang saya alami. Sebuah kesempatan yang langka tentunya. Latihan pun berakhir sekitar pukul 20.00, dan kita menutup hari itu dengan makan malam bersama lalu kembali ke rumah Ian.

Mau tidak mau besok harinya saya harus menahan diri untuk tidak latihan dulu, demi mengistirahatkan engkel agar tidak semakin parah. Kebetulan juga hari itu ada janji untuk bertemu dengan seorang teman lama di Greenhills Shopping Center, daerah San Juan. Saya mengenal dia sejak era Friendster sekitar 9-10 tahun lalu, dan tetap menjalin komunikasi hingga kini. Mumpung lagi di Filipina, saya manfaatkan kunjungan ini sekalian untuk menemuinya. Sementara Tim, Leonard, Takuya memilih berlatih bersama Ian; di lain pihak Jeremi serta Faiz ikut jalan-jalan di mall bersama Mariann. Setelah pertemuan saya beres dan rombongan Ian selesai berlatih, kita semua kembali berkumpul di foodcourt untuk makan malam. Saat itu perasaan saya bercampur aduk, antara bahagia menikmati kebersamaan yang ada, namun juga sedih karena itulah malam terakhir di Filipina. Kurang dari 24 jam lagi, bersama dengan Jeremi, saya akan naik pesawat pulang menuju Singapore (secara kebetulan kita berdua memesan tiket pulang dengan jadwal yang sama).






Besok harinya, karena pesawat menuju Singapore baru berangkat pukul 21.30, maka saya dan Jeremi masih punya waktu seharian lagi untuk mengeksplor Manila. Kita bertujuh pun memutuskan untuk jalan-jalan ke daerah Intramuros, sebuah kawasan kota tua warisan kolonial Spanyol. Setelah cukup lama berkeliling di sana, berikutnya kita langsung lanjut latihan parkour di tembok benteng depan Mapua Institute of Technology. Karena tergiur dengan spot yang menarik serta tidak tahan melihat teman-teman lain bergerak, lagi-lagi saya malah memaksakan diri ikut berlatih di tengah kondisi engkel yang belum membaik. Alhasil menjelang berangkat ke bandara, engkel kaki kiri yang bengkak pun menjadi oleh-oleh terakhir dari Filipina.

Dan akhirnya, tibalah saat perpisahan itu. Tim, Leonard, Faiz masih akan berada di Filipina dalam beberapa hari ke depan, sementara Takuya baru pulang besoknya tanggal 30 November. Saya dan Jeremi pun berpisah dengan mereka semua, kemudian diantar Ian-Mariann ke Bandara Ninoy Aquino. Jujur, sangat berat harus berpisah dengan pasangan pengantin baru ini. Rasanya baru kemarin tiba di Manila, tau-tau sekarang sudah harus pulang lagi. Memang benar waktu akan terasa sangat singkat bila kita menikmatinya.


Kurang lebih 3,5 jam kemudian; saya beserta Jeremi tiba di Bandara Changi Singapore. Pada akhirnya, pasporlah yang harus memisahkan kita di imigrasi. Saya menuju counter check-in untuk melanjutkan penerbangan ke Surabaya, sementara Jeremi pulang ke rumahnya menggunakan taksi. Sekalipun jadwal keberangkatan pesawatnya masih lama (pukul 07.40), namun saya memutuskan tidak tidur malam itu daripada nanti kebablasan dan ketinggalan pesawat. Sembari menunggu, saya memutuskan jalan-jalan keliling bandara sambil memutar ulang di kepala memori indah yang dialami selama seminggu ini. Ah, seandainya saja saya bisa memutar balik waktu..


Sekitar pukul 09.00, bersyukur saya bisa tiba di bandara Juanda dengan selamat. Dengan begitu, saatnya kembali ke rutinitas harian seperti sediakala. Pastinya saya juga harus bekerja keras dan menabung lagi untuk trip-trip petualangan berikutnya. Kemudian untuk Ian dan Mariann, terimakasih sudah menjamu saya beserta teman-teman parkour lainnya selama di Filipina, saya sangat berhutang budi pada kalian. Semoga suatu saat kita ada kesempatan berjumpa lagi...dan, selamat berbulan madu!


Comments

Popular posts from this blog

Cerita 28 Jam di Jombang

Ikut? Tidak? Ikut? Tidak? IKUT!!!

Semalam di Bojonegoro