Petualangan di Bangkok
Sudah ±4,5 tahun sejak terakhir kali saya ngetrip ke luar negeri, yaitu saat ke Malaysia pada tahun 2019 lalu. Dan itu adalah trip terakhir saya sebelum covid melanda, plus berbagai masalah lainnya yang datang bertubi-tubi di tahun 2020. Sekalipun hari ini perekonomian saya belum sepenuhnya pulih, tapi bersyukur keadaannya sudah jauh lebih baik dibanding 4 tahun lalu, dan yang terpenting adalah saya masih dalam keadaan sehat walafiat.
Berhubung paspor saya masih kosong, sementara masa berlakunya kurang dari setahun lagi, maka tidak ada salahnya bila sekali saja saya pakai ke luar negeri sebelum kedaluwarsa. Dan setelah melalui berbagai pertimbangan, pilihan negara tujuan pun akhirnya jatuh ke Thailand karena harga tiket pesawat yang relatif terjangkau, plus kebetulan juga itu adalah target negara ASEAN berikutnya yang ingin kukunjungi setelah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Fast forward ke tanggal 8 Mei 2024, akhirnya ±pukul
17.40 pesawat Air Asia yang saya tumpangi mendarat di Bandara Don Mueang. Rasa
bahagia yang terhilang selama 4 tahun pun kembali menjalar ke dalam diri saya sesaat
begitu melangkahkan kaki keluar dari pesawat. Antrian imigrasi yang hampir satu
jam sedikit pun tidak menyurutkan antusiasme saya yang akan berpetualang di
Bangkok selama 5 hari ke depan.
Setelah membeli SIM Card dan sedikit chatting mengabari beberapa
teman yang ada di Thailand, segera saya naik bis menuju Victory Monument, kemudian
dilanjutkan naik Bolt-bike menuju Ploy hostel tempat saya menginap yang
terletak di Samsen Road. Sejenak saya beristirahat melepas lelah dan mandi dulu
sebelum keluar lagi untuk bertemu dengan Achzi di sebuah bar bernama Rocco Club, yang berlokasi di sekitar Khaosan Road.
Lokasi bar ini kebetulan sangat dekat dengan hostel saya,
sehingga cukup berjalan kaki ±15 menit saja ke sana. Saat itu waktu
menunjukkan sekitar pukul 21.00, jalanan di sekitar bar benar-benar ramai oleh
pengunjung, baik turis domestik maupun asing. Dan tidak perlu waktu lama bagi
saya untuk menemukan Achzi di tengah keramaian.
Dalam hitungan detik, langsung kita berpelukan saling melepas
kangen. Bayangkan saja, sudah ±8,5 tahun kita tidak berjumpa sejak LCG 2016
lalu. Tentu banyak cerita yang bisa saling kita bagikan malam itu. Sambil
diiringi live music, sepanjang malam kita ngobrol ngalor-ngidul membahas
berbagai hal yang telah terjadi selama 8,5 tahun terakhir, dari mulai keseruan
LCG dan pengalaman masing-masing selama di Singapur, hingga saat masa-masa
sulit ketika covid-19 melanda. Bersyukur kita berdua bisa melalui semua itu dan
bertahan sampai hari ini. Untuk itulah tidak ada salahnya kita sedikit
merayakan momen ini dengan minum bir kecil-kecilan.
Tentu kita belum puas jika hanya berada di satu lokasi saja. Dari Rocco
Club, melipir sedikit masih di jalan yang sama, kita singgah ke bar kedua
yang bernama Khao Sarn Center. Di sini suasananya jauh lebih berisik dan
meriah dengan diiringi DJ yang sound system-nya sangat keras, sampai-sampai
kita harus saling mengetik di HP bila ingin berbicara. Namun terlepas dari itu,
sungguh luar biasa pemandangan yang terjadi di depan mataku. Segala hal yang
dirasa agak tabu di Indonesia (kecuali Bali mungkin) adalah normal di Thailand.
Tidak perlu saya bertele-tele menjelaskan panjang lebar, silakan simpulkan
sendiri dari video-video berikut ini:
Apakah sudah selesai sampai di situ? Tentu saja belum, masih
banyak topik obrolan yang ingin kita bahas. Meski sudah hampir menjelang tengah
malam, kita masih ingin menghabiskan waktu bersama lagi di bar yang sedikit
lebih tenang agar bisa saling mendengar suara satu sama lain. Setelah menyusuri
beberapa bar/klub malam yang bertebaran di kiri-kanan Khaosan Road, pilihan
pun akhirnya jatuh ke bar Is Orange yang terletak agak di ujung jalan.
Seperti halnya Khao Sarn Center, di Is Orange ini
tentu ada DJ-nya juga, hanya saja tidak seberisik sebelumnya, sehingga kita
masih bisa saling mendengar satu sama lain meski harus agak berteriak ngomongnya. Di
sini kita berkenalan dengan seorang bapak paruh baya dari Kanada yang bernama
Yves Blanchette, yang kebetulan sedang duduk di sebelah kita. Bertiga kita
bercengkerama dan saling sharing kehidupan masing-masing yang tentu membuat
malam itu menjadi sangat berkesan bagi saya.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan ±pukul 01.30, Achzi pun tampak
mulai mengantuk, sementara nanti pagi dia harus bekerja di kantornya, sehingga
saya dan Achzi pun pamit undur diri kepada Yves yang masih ingin menghabiskan
waktu di bar. Setelah berpisah dengan Achzi, saya pun berjalan kaki kembali ke
hostel.
Di tengah perjalanan menuju hostel, ada sedikit kejadian kecil
yang menggelikan. Seorang ladyboy mendadak tiba-tiba merangkul tangan saya dan
melakukan sedikit flirting, yang tentu saja membuatku canggung menghadapinya.
Penampilannya benar-benar menyerupai wanita tulen sampai dia mulai ngomong. Saya
pun menolak dengan halus saja sambil terus berjalan, dan beruntung dia tidak
memaksa juga. Terlepas dari itu, intinya hari pertama di Bangkok benar-benar sangat
memuaskan bagi saya. Fisik boleh cape, tetapi pikiran sangat bahagia, tidak ada
satu detik pun yang terbuang sia-sia. Saya pun segera beristirahat demi
menyimpan tenaga untuk nanti pagi.
Sekitar pukul 08.30, saya bangun dengan tubuh yang segar setelah kemarin lumayan kelelahan di hari pertama. Begitu selesai mandi dan berganti baju, segera saya keluar mencari sarapan sekaligus mencoba eksplor keliling Bangkok dengan berjalan kaki. Saat itu saya belum ada rencana mau ke mana, namun begitu mengecek google map, ternyata lokasi Grand Palace, salah satu istana paling terkenal di Bangkok, tidak seberapa jauh dari kedai makan tempat saya sarapan, yang mana hanya butuh ±30-40 menit saja dengan berjalan kaki.
Jadi ya sudah, daripada luntang-lantung ga jelas, lebih baik saya berkunjung
saja ke sana. Meski untuk turis asing diharuskan membayar 500 Baht, tetapi
sedikit pun saya tidak merasa rugi, karena pemandangan istana yang tersaji di
depan mata sungguh sangat menakjubkan.
Sebuah kompleks istana tempat tinggal keluarga Kerajaan Thailand
dengan arsitektur yang begitu megah benar-benar membuat saya kagum. Bangunan
yang berdiri sejak 1782 ini terawat dengan cukup baik, dan pengelolanya pun
sangat ramah turis. Tidak heran bila banyak sekali rombongan turis asing yang
hadir bersama-sama dengan saya saat itu, terutama yang berasal dari RRC dan
Korea Selatan. Selama ±2 jam berikutnya saya berkeliling dan memfoto
bagian-bagian menarik dari Grand Palace ini. Cuaca yang panas Terik dan
padatnya turis yang berkumpul sedikit pun tidak menyurutkan kebahagiaan saya
hari itu.
Setelah puas menjelajahi Grand Palace, tempat berikutnya
yang saya kunjungi adalah Museum of Siam. Dengan membayar 100 Baht, di sini
saya bisa mempelajari sejarah Thailand dari A-Z melalui foto, video, maupun
diorama yang ditampilkan. Salah satu fakta unik yang membuat saya kagum adalah,
Thailand me rupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah.
Berkat kecerdikan raja-rajanya dalam melakukan diplomasi, serta lokasi
geografisnya yang menjadi buffer zone antara wilayah jajahan Inggris vs wilayah
jajahan Perancis, pada akhirnya membuat Thailand berhasil luput dari kolonialisasi
bangsa Eropa. Demikian juga saat periode invasi Jepang ke berbagai negara Asia di
tahun 1942-1945, berkat keahlian diplomasi pemerintahan Thailand, mereka pun sampai
bisa beraliansi dengan Jepang tanpa harus menjadi negara jajahannya.
Dari Museum of Siam, secara spontan saya memutuskan jalan-jalan ke
Old Siam Plaza, yang merupakan mall terdekat dari situ. Saya hanya sekedar
berkeliling-keliling saja sambil ngadem karena cuaca yang begitu panas di luar.
Tidak terlalu banyak hal yang menarik di sana, sehingga saya pun memutuskan
tidak berlama-lama. Lagipula, waktu pun sudah menunjukkan ±pukul 16.30, saya rasa
sudah waktunya kembali ke hostel untuk beristirahat sejenak sebelum nanti malam
keluar lagi untuk bertemu dengan mbak Kartika. Saya pun memutuskan kembali ke
hostel dengan berjalan kaki saja demi menghemat biaya, itung-itung menikmati
sore hari di tengah hiruk-pikuk kota Bangkok.
Setelah mandi dan bersiap-siap, begitu matahari terbenam segera
saya naik Bolt-bike menuju Old German Beerhouse on 11, salah satu
restoran western favorit dari mbak Kartika. Di sana sudah ada mbak Kartika dan
Mr. Andrew (suaminya yang orang UK), lalu ada temannya Mr. Andrew bersama
pacarnya yang asli orang Thailand. Selama 1-2 jam ke depan kami berlima bercengkerama
dengan asyiknya, saling bercerita tentang berbagai hal. Saya pun mendapat gambaran
tentang lika-liku kehidupan di UK beserta perbandingannya dengan Asia Tenggara,
sungguh diskusi yang menarik malam itu.
Belum puas di Old German Beerhouse, kami berlima pun lanjut
berjalan kaki ke salah satu pub yang terletak tidak jauh dari sana, yaitu Hillary 11. Sambil ditemani live music, kami lanjut ngobrol-ngobrol ringan sambil
minum bir hingga menjelang tengah malam. Saking menikmatinya momen ini, saya
pun sampai-sampai tidak membuka HP sama sekali, rasanya ingin agar waktu
berhenti saja malam itu. Sejenak segala kepenatan dan permasalahan hidupku
sirna di Bangkok.
Namun sayang, saya harus kembali ke realita. Di mana ada awal, di
situ ada akhir. Kami pun mesti berpisah karena mbak Kartika dkk harus kembali
bekerja besok paginya, sementara saya sendiri tidak ingin kesiangan bangun agar
bisa seawal mungkin mengeksplor Bangkok. Meski fisik sangat lelah karena banyak
berjalan kaki, namun saya bisa menutup hari ke-2 di Bangkok dengan bahagia.
Hari ke-3 saya awali dengan berkunjung ke Wat Ratchabophit,
sebuah kuil Buddha yang terletak tidak jauh dari Grand Palace. Tidak ada
biaya masuk alias gratis, namun suasananya sangat sepi, hampir tidak ada orang
lain lagi di sana selain beberapa biksu yang berseliweran. Saya menduga kuil
yang sudah berdiri sejak 1869 ini tidak dikomersialkan/bukan merupakan tujuan
wisata populer seperti kuil-kuil lainnya yang berbayar. Namun terlepas dari
itu, struktur bangunannya sangatlah indah.
Setelah puas berkeliling di sana, selanjutnya saya menuju kuil
lainnya yang bernama Wat Pho, yang sebutan lengkapnya adalah Wat Phra
Chetuphon Wimon Mangkhalaram Rajwaramahawihan. Kompleks kuil Wat Pho
ini lumayan luas juga sehingga saya menghabiskan waktu cukup lama di sini.
Berlokasi persis di sebelah Grand Palace, salah satu yang iconic dari
tempat ini adalah terdapat patung Buddha-berbaring raksasa yang terbuat dari
emas di dalam salah satu bangunan kuilnya. Biaya masuk kuil Wat Pho sendiri
adalah 300 Baht.
±Pukul 15.00, begitu sudah puas menjelajah Wat Pho, saya
pun kembali ke hostel dengan berjalan kaki. Selain demi menghemat biaya, saya
pun ingin melihat-lihat langsung hiruk-pikuk keramaian kota Bangkok di sore
hari. Kebetulan cuaca saat itu cukup cerah
Agenda saya berikutnya tentu tak lain dan tak bukan ya berlatih
parkour, yang merupakan misi utamaku pada trip Bangkok kali ini. Sejak pagi
hari tadi, saya sudah janjian terlebih dulu dengan Edward untuk berlatih
parkour bareng di Taman Lumphini. Sedikit info, saya kenal Edward sejak LCG 2017
lalu di Singapur, dia adalah praktisi parkour dari Penang, Malaysia, dan sudah
4-5 tahun terakhir bekerja di Thailand sebagai pelatih parkour.
Dari ±pukul 16.30 hingga matahari terbenam, kita berdua jamming
bersama di beberapa spot Taman Lumphini ini. Sungguh momen yang sangat, sangat
membahagiakan bagiku. Betul, saya sadar kok skill & power saya dalam
ber-parkour sudah agak menurun dibanding masa primaku beberapa tahun lalu,
apalagi dibandingkan Edward yang tetap konsisten menjaga skill-nya di level
atas karena memang tuntutan profesinya demikian. Namun bukan berarti hal ini membuat
saya minder, ngga lah. Mau skill level atlet profesional ataupun sekedar
hura-hura, yang penting silaturahmi dan kebersamaan tetap dijaga. Siapa tau di
luar parkour, saya bisa berkolaborasi dalam hal yang lain bersama mereka.
Sesi jamming pun kita akhiri seiring hari semakin gelap. Dan
sebelum cari makan malam, Edward terlebih dulu mengajak saya sedikit
berkeliling-keliling berbagai sudut kota Bangkok yang semakin malam justru
semakin meriah suasananya. Dari mulai ke pasar malam yang jualan jajanan,
aksesoris maupun pakaian; hingga ke salah satu plaza/pelataran mall tempat
anak-anak muda berlatih dance. Betapa hidupnya suasana Bangkok di malam hari,
saya sendiri turut senang merasakan vibes-nya.
Setelah lumayan puas jalan-jalannya, kita singgah ke food
court mall Siam Paragon untuk makan malam. Tomyam pun pada akhirnya menjadi
menu pilihan kita. Sembari menikmati makan dan ngobrol-ngobrol, kuperhatikan juga
keadaan sekeliling di mall tersebut. Suasananya memang tidak jauh beda dengan
mall-mall di Jakarta, Surabaya, atau kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Hanya saja, yang agak membedakan adalah wanita di sini lebih nyaman
mengekspresikan diri dengan pakaian apa pun yg mereka inginkan tanpa takut
di-catcall (atau bahkan dilecehkan) oleh para pria. Semoga ini menjadi bahan
evaluasi untuk di Indonesia sendiri agar bisa lebih respek terhadap wanita,
sehingga bisa berimbas positif terhadap iklim pariwisatanya.
Dari mall Siam Paragon akhirnya kita berpisah, dan saya pun
kembali ke hostel dengan kondisi sangat kelelahan. Di satu sisi memang
bersyukur segala aktivitas di hari ke-3 ini semuanya dilancarkan, namun di sisi
lain, khususnya dari sudut pandang parkour, jujur saya tidak seberapa puas
karena saat memulai jamming bersama Edward tadi sore, aslinya fisik sudah dalam
kondisi 40-50% lelah karena terpakai jalan-jalan ke Wat Pho
sebelumnya, sehingga ketika latihan parkour jadinya tidak bisa maksimal. Namun
berhubung waktu yang saya miliki di Bangkok ini sangat terbatas, jadi ya sudahlah apa boleh buat, yang penting badan tetap sehat dan tidak cedera sedikit
pun. Aku pun bersyukur bisa tidur dengan nyenyak malam itu.
Hari ke-4, berkaca dari pengalaman kemarin, aku pun akhirnya memutuskan beristirahat dulu di hostel hingga tengah hari demi menyimpan tenaga, karena nanti jam 14.00 bakal janjian dengan Edward untuk berlatih di The Movement Playground, sebuah gym indoor parkour tempat dia bekerja sebagai salah satu pelatihnya. Kebetulan juga di sana ada Kin Reyes, salah satu teman parkourku yang terakhir berjumpa saat LCG 2018 lalu.
Dengan menggunakan Bolt-bike, ±pukul 13.15 saya berangkat dari
hostel. Dan ternyata, lalu lintas Bangkok saat itu sedang macet lumayan parah,
sehingga perjalanan memakan waktu 40-45 menit, di samping memang lokasinya
cukup jauh. Untunglah saya tiba di The Movement Playground tepat waktu,
sehingga sempat bertegur sapa sejenak dengan Kin yang buru-buru mau pergi, karena
kebetulan dia sedang ada keperluan seusai jam mengajarnya selesai pukul 14.00.
Meski hanya sekedar melepas kangen, namun rasanya bahagia bisa berjumpa lagi
dengan dia setelah ±6 tahun.
Dalam 2-3 jam ke depan, bersama Edward dan beberapa teman parkour
Bangkok lainnya, saya pun jamming sampai puas mengeksplor berbagai obstacle di
sana. Meski skill parkourku sudah lumayan menurun dibanding beberapa tahun yang
lalu, namun itu bukan lagi masalah bagi saya. Karena seperti yang diceritakan
di postingan sebelumnya, tujuan saya berparkour sekarang hanyalah untuk
silaturahmi dan bersenang-senang, serta yang terpenting bisa tetap konsisten
berlatih hingga tua. Lebih baik saya main aman saja melakukan lompatan/trik
yang sesuai dengan kapasitas diri, daripada celaka karena memaksakan diri
melakukan big jump yang tidak saya kuasai.
Seusai latihan, kembali saya dan Edward mengeksplor
beberapa ruas jalan kota Bangkok, dari mulai menyusuri salah satu pasar
tradisional hingga berakhir makan nasi goreng di salah satu kedai pinggir jalan
menjelang matahari terbenam. Dari situ kita pun berpisah, dan segera saya
kembali ke hostel untuk beristirahat. Meski lebih singkat dari kemarin, namun
pengalaman di hari ke-4 ini tetaplah berkesan, tidak kalah dengan hari-hari
sebelumnya.
Hari ke-5, inilah full-day terakhir saya di Bangkok. Saya bertekad
untuk benar-benar memanfaatkan setiap waktu yang berlalu seoptimal mungkin,
tidak boleh ada yang tersia-siakan, sehingga untuk itulah saya memutuskan
berangkat lebih awal dibanding hari-hari sebelumnya. ±Pukul 08.30 saya memutuskan pergi ke Wat Arun, kuil terakhir yang saya targetkan untuk dikunjungi, yang terletak
persis di seberang Wat Pho dengan dipisahkan oleh Sungai Chao Phraya.
Bila hari-hari sebelumnya saya berjalan kaki saat berangkat dari
hostel ke kuil tujuan, kali ini demi menghemat waktu saya putuskan menggunakan
Bolt-bike saja, karena lebih cepat lebih baik, plus menghemat tenaga pula. Saya
pun tiba di kuil Wat Arun setelah menempuh ±15-20 menit perjalanan. Dengan
membayar tiket masuk 200 Baht, dalam 2-3 jam ke depan saya sangat puas
menjelajahi seluruh area kuil.
Menjelang tengah hari, setelah makan siang di kedai makanannya,
saya pun menyudahi eksplorasi di Wat Arun dengan menyebrang Sungai Chao
Phraya menggunakan perahu feri untuk menuju sisi jalan tempat Grand Palace
dan Wat Pho berada, di mana cukup membayar 5 Baht saja. Dari sana, saya langsung
booking Bolt-bike untuk kembali ke hostel.
Tidak ada waktu untuk beristirahat, karena jadwal saya selanjutnya
adalah ikut climbing bersama Kin dan Ketkanok di Stonegoat Climbing Gym,
yang terletak persis di sebelah The Movement Playground (masih satu
kompleks bangunan). Dengan kembali menggunakan Bolt-bike, saya pun segera
meluncur ke sana.
Waktu menunjukkan ±pukul 13.00 ketika saya tiba. Segera setelah melakukan
registrasi, Kin sudah menunggu di sana. Kita pun berlatih climbing bersama
sambil saling bercerita update kehidupan masing-masing dalam 6 tahun belakangan
sejak terakhir berjumpa. Entah bagaimana mengungkapkannya dalam kata-kata, yang
jelas saya merasa sangat, sangat bahagia pada momen ini, ibarat menemukan
kepingan puzzle yang terhilang. Ingatan saya pun sejenak kembali ke LCG 2016,
2017, dan 2018; saat jamming bersama Kin, Edward, dan teman-teman parkour
internasional lainnya. Vibes yang sama kurasakan juga siang itu meski dalam
skala yang lebih kecil.
Menjelang sore, setelah ±2-3 jam berlatih climbing bersama Kin,
datanglah Ketkanok ke lokasi. Sayangnya, di saat yang bersamaan Kin harus
segera pergi karena ada suatu keperluan, sehingga tinggallah saya dan Ketkanok yang
berlatih berdua. Sekedar info, inilah pertama kalinya saya berjumpa dengan
Ketkanok setelah sekian lama hanya berinteraksi lewat sosmed, dia adalah salah
satu praktisi parkour wanita dari Thailand yang cukup konsisten berlatih.
Meski memang kali ini bukan momennya berlatih parkour, namun tentu
itu bukan masalah, karena (lagi-lagi) yang terpenting bagi saya adalah quality
time dan bersilaturahmi dengan teman-teman lokal di negara mana pun yang saya
kunjungi. Jadi tanpa membuang-buang waktu lagi, selama ±2 jam ke depan saya dan
Ketkanok berlatih climbing bersama. Rasa lelah setelah berlatih bersama Kin
tidak terlalu kupedulikan, karena tentu saya harus menghargai Ketkanok yang mau
meluangkan waktunya untuk menemuiku di tengah-tengah kesibukannya. Lagipula,
secapek-capeknya climbing tidaklah secapek berlatih parkour.
Menjelang pukul 18.00, kita berdua pun menyudahi sesi climbing
ini. Dan sebelum meninggalkan lokasi, saya sempatkan dulu berpamitan dengan
Edward yang kebetulan baru selesai melatih di The Movement Playground.
Kita bertiga berfoto bersama untuk terakhir kalinya sebelum saling berpisah. Dari
situ segera saya kembali ke hostel untuk beristirahat sejenak.
Selesaikah agenda hari ini? Oh, tentu saja belum, karena pukul
22.00 nanti saya bakal janjian bertemu kembali dengan Achzi di Rocco Club. Kebetulan
malam ini Achzi sedang free, dan saya pun baru menyadari bahwa saat pertemuan
di hari pertama lalu belum sempat foto berdua dengannya, jadi tentu di momen
terakhir pada malam terakhir ini saya harus memanfaatkannya sebaik mungkin.
Sama seperti saat pertemuan pertama, kita menikmati sajian live
music sambil minum bir dan bercengkerama dengan topik obrolan yang tiada
habis-habisnya. Sungguh rasanya ingin waktu berhenti saja di momen seperti ini,
karena jujur saya masih belum rela menerima fakta bahwa kurang dari 24 jam lagi
saya harus kembali ke Indonesia. Lima hari tidaklah cukup untuk mengeksplor
Bangkok, namun tentu saya harus realistis, karena ada tanggung jawab yang harus
kulakukan di kehidupan nyataku.
±Pukul 01.00, saya dan Achzi pun berpelukan terakhir kalinya
sebelum berpisah. Saya harus segera kembali ke hostel untuk beristirahat,
karena nanti ±pukul 08.00 rencana akan berangkat ke Bandara Don Mueang. Memang
jadwal pesawatku adalah pukul 11.20, namun akan lebih baik jika sudah ada di
bandara sejak pukul 09.00 agar tidak terburu-buru saat melakukan check in,
antri imigrasi, dll. Lagipula, lalu lintas di hari Senin pagi tentunya bakal
sangat padat, jadi lebih awal lebih baik.
Alarm pun berbunyi pada pukul 06.00 pagi. Tanpa berlama-lama,
segera saya mandi, berkemas-kemas, dan cari sarapan di kedai terdekat dari
hostel. Lalu menjelang pukul 08.00, barulah saya check out dan booking
Bolt-bike menuju bandara.
Bersyukur lalu lintas Bangkok saat itu tidak terlalu macet,
sehingga pukul 09.00 kurang saya sudah bisa tiba di Terminal 1 dengan selamat.
Proses imigrasi pun relatif lancar tanpa kendala berarti. Kemudian setelah
semua beres, tinggallah saya menunggu sendiri di ruang boarding dengan segudang
kenangan yang menyertai. Entah kapan saya bisa ngetrip ke Bangkok lagi, yang
jelas saya bertekad untuk melakukan kunjungan ke-2 di waktu yang tidak terlalu
lama lagi. Masih banyak yang ingin saya eksplor baik dari sisi wisata maupun
parkour.
Dan terakhir, meski rejeki saya sejauh ini baru bisa sampai ke Bangkok,
namun tetaplah itu hal yang patut disyukuri. Mau jauh ataupun dekat, traveling
(beserta parkour) adalah obat mujarab bagi saya di tengah kepenatan menjalani aktivitas
sehari-hari. Momen-momen seperti inilah yang bikin saya tetap bersemangat
menjalani hidup. Bila hari ini perginya ke Bangkok, siapa tau suatu saat saya jalan-jalannya
ke Eropa atau US… semoga saja.
Comments
Post a Comment