Kesalahan Terbesar

Sudah 4 bulan lebih sejak saya vakum dari semua sosial media. Tentunya telah banyak ketinggalan berita dari teman-teman yang lain sejak terakhir aktif ±akhir Juli lalu. Bersyukur sekarang sudah bisa bersosmed seperti sediakala lagi. Bila ada yang bertanya-tanya apa yang terjadi selama ini, akan segera saya ceritakan semuanya dari awal hingga akhir.

Jadi... bisa dibilang bulan Juni sampai Juli lalu adalah periode terburuk dalam hidup saya. Saya melakukan sebuah kesalahan bodoh yang hampir menghancurkan bisnis, keuangan, maupun hubungan pribadi dengan teman-teman dan keluarga. Mungkin ini kesannya seperti mengumbar aib sendiri, tetapi ya sudah, tidak masalah juga. Saya hanya ingin sharing saja supaya ini bisa menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak bertindak bodoh seperti yang telah saya perbuat.

 

Awal Mula

Ini semua bermula sekitar bulan Agustus 2019 lalu, saat ada seorang teman dari salah satu komunitas yang saya ikuti (di luar parkour) masuk penjara, sebut saja namanya K. Hubungan saya dengan dia pun bisa dibilang tidak seberapa akrab meski dibilang baru kenal ya juga tidak, tetapi saya sudah cukup sering interaksi dengan dia sebenarnya. Nah, tentunya saya kaget bukan kepalang, kok bisa-bisanya sampai masuk penjara, reputasi dia selama ini bukan sebagai orang jahat/yang suka aneh-aneh.

Ternyata, penyebab dia sampai dipenjara adalah karena dijebak oleh salah satu oknum polisi yang menyamar menjadi seorang wanita di aplikasi kencan yang sering K mainkan. Singkatnya, “wanita” tersebut menawarkan ganja sintetis, lalu K tertarik untuk membelinya, dan mereka pun janjian untuk bertemu di suatu tempat. Saat sudah di tempat yang dijanjikan, ternyata yang menemui K bukanlah wanita seperti yang ada dalam aplikasi, melainkan oknum polisi yang menjebaknya dengan ganja tersebut.

K pun dipaksa mengakui bahwa ganja tersebut adalah miliknya, dan segera dia digiring ke kantor polisi untuk diinterogasi. Oknum polisi tersebut meminta dana tebusan (atau istilah mereka ‘salam 86’) ratusan juta dari keluarganya bila ingin langsung dibebaskan. Tentu saja mereka tidak bisa menyanggupinya, karena di saat yang bersamaan ibu dari K juga sedang dalam proses pengobatan penyakit stroke yang tentunya memakan biaya tidak sedikit. Alhasil tanpa proses peradilan K pun divonis 2 tahun penjara di Rumah Tahanan Medaeng Sidoarjo.

Tidak berapa lama setelah kejadian itu K menghubungi saya untuk meminjam uang sekitar Rp 200.000 atau Rp 300.000. Karena saya kasihan, saya pun segera meminjamkannya, toh dia pun menjanjikan akan mengganti uangnya saat sudah bebas kelak.

Bulan demi bulan berlalu, hingga akhir tahun 2019 tidak ada kabar berita lagi dari dia. Sejenak saya pun melupakan peristiwa ini. Saya menjalani kehidupan secara normal sebagaimana mestinya.


2020

Suatu hari di bulan Februari/Maret 2020, mendadak saya terima telepon dari nomor tak dikenal. Begitu saya angkat, ternyata itu adalah K. Dengan melas-melas, dia memohon-mohon untuk pinjam uang lagi kisaran Rp 100.000 atau Rp 150.000. Lagi-lagi karena kasihan, saya pun percaya saja dengan dia, dengan iming-iming janji akan dilunasi begitu bebas. Dia pun berdalih sudah mencatat tiap transaksi utangnya.

Dan, seperti yang kita sama-sama tau, dalam kurun waktu tersebut, wabah corona sedang puncak-puncaknya melanda seluruh dunia, tidak terkecuali Surabaya. Sejak pertengahan Maret, pekerjaan saya sebagai asisten videografer pun banyak yang dibatalkan, otomatis penghasilan pun menurun drastis. Saya harus mulai ekstra irit dalam menjalani hidup, sambil mengerjakan pekerjaan freelance sampingan.

Sampai dengan bulan Mei/awal Juni 2020, K meminjam uang satu atau dua kali lagi dengan kisaran nominal Rp 50.000 - Rp 70.000. Yang jelas hingga saat itu utang K ke saya masih di bawah nominal Rp 500.000, saya masih belum terlalu mikirin itu dan menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasanya, tentunya sambil tetap memperhatikan protokol kesehatan di tengah pandemi ini.

 

Bencana Dimulai

Sekitar minggu ke-3 atau ke-4 bulan Juni, tiba-tiba saya terima telepon dari nomor tak dikenal yang sama sekali berbeda dari nomor sebelumnya. Ternyata itu adalah K. Kali ini dia berdalih bahwa dia dapat remisi dari pihak polisinya, dengan syarat membayar uang sejumlah Rp 300.000 atau Rp 400.000 (saya lupa jumlah persisnya), maka dia bakal langsung dibebaskan hari itu juga. Dan lagi-lagi dia memohon-mohon untuk pinjam uang dari saya.

Nah, di sinilah kelemahan (atau mungkin lebih tepatnya disebut kebodohan) saya. Saya terlalu naif berpikir bahwa semua orang di lingkaran sosial saya pastinya orang baik-baik. Okelah mungkin maksud saya baik ingin sekedar membantu teman, namun kesalahan utama saya adalah percaya begitu saja dengan cerita K tanpa crosscheck fakta terlebih dahulu. Dan di sinilah awal bencana tersebut bermula.

Di hari pembebasan K tersebut, setelah siangnya saya transfer uang, dia mengajak janjian bertemu malam harinya di Royal Plaza. Saya pikir pada hari itu semuanya selesai, kita ketemuan, dia kembalikan uang saya, lalu beres, lanjut menjalani kehidupan masing-masing. Ga taunya, setelah menunggu ±4jam, sedikitpun K tidak menampakkan batang hidungnya. Hingga Royal Plaza tutup, dia tidak merespon chat/telepon saya. Besok paginya dia baru mengabari untuk meminta maaf, katanya ibunya baru saja meninggal di rumah sakit karena penyakit stroke semalam, sehingga sejak sore/malam kemarin dia terpaksa tidak megang HP. Saya sendiri tidak tau apakah kejadian tersebut sungguhan atau hanya skenario belaka dari K.

Sampai di sini saya (bodohnya) masih percaya dan meminjamkan uang untuk biaya pemakaman ibunya K tersebut. Ya, saya akui kelemahan terbesar saya adalah terlalu sungkanan untuk berkata tidak. Apalagi bila melihat orang lain kesusahan, tentunya kalau bisa dibantu ya saya bantu semampunya. Di satu sisi memang bagus, karena saya dari kecil memang dididik untuk memiliki empati. Tapi di sisi lain ini juga bisa jadi bumerang bagi saya, karena sangat rentan untuk dimanfaatkan orang tidak bertanggung jawab. Dan itulah yang akhirnya terjadi baru-baru ini. Tindakan menolong K ini ibaratnya seperti orang memelihara ular berbisa sejak menetas dari telurnya, dia rawat dan beri makan terus sang ular hingga dewasa, lalu di suatu momen ular tersebut malah memangsa balik tuannya.

 

Dijebak dalam Perangkap

2-3 hari pasca (skenario?) kematian ibunya, dengan melas-melas K menghubungi saya lagi menceritakan bahwa kali ini ayahnya yang meninggal karena maag akut. Lagi-lagi dia meminjam uang saya untuk (katanya) biaya pemakaman ayahnya. Dia berjanji setelah ini akan mengembalikan semua utang saya dari hasil penjualan mobilnya sebagai asset terakhir keluarganya.

Kalau orang yang masih normal, seharusnya sudah curiga dengan cerita-cerita semacam ini. Seharusnya stop sampai di sini memberi bantuannya, dan kalaupun hilang uang ya masih belum seberapa banyaklah jumlahnya. Sekedar info, utang K ke saya hingga kisaran akhir Juni sudah membengkak ke kisaran Rp 3.000.000 - Rp 4.000.000. Namun lagi-lagi saya bertindak (makin) bodoh dengan tetap meladeni skenario K, karena pikiran saya sudah dikuasai oleh emosi (atau lebih tepatnya ‘empati yang tidak pada tempatnya’).

Saya pikir begitu proses transaksi jual-beli mobil selesai, K langsung segera mentransfer uang sejumlah utangnya ke saya, lalu beres sampai di situ (atau setidaknya memberi secara cash lah). Ternyata, masalah baru pun muncul. Menurut ceritanya, si pembeli mobilnya mempermasalahkan surat-surat (atau hal-hal teknis tertentu) dari mobil K tersebut, hingga dia akhirnya melaporkan K ke polisi. Singkat cerita, setelah beberapa kali mediasi, mobil pun memang berhasil dijual, namun uang hasil penjualannya ditahan oleh polisi. Dengan kata lain, untuk kedua kalinya lagi-lagi K harus berurusan dengan polisi. Dan bila berurusan dengan polisi, artinya... harus keluar uang lagi alias salam 86.

Andaikan saya jadi polisinya, supaya menghasilkan win-win solution, ya sudah ambil saja bagian berapa persen dari uang penjualan mobilnya, lalu segera bebaskan K, maka selesai sudah masalahnya. Namun, yang terjadi tidaklah demikian, malahan masalah makin membesar bagaikan efek bola salju. Dengan dalih sebagai “barang bukti”, sang oknum polisi tersebut mengatakan ”barang bukti” haruslah tetap utuh dan tidak diutak-atik.

Sudah bisa ditebak kira-kira apa yang terjadi berikutnya? Ya, lagi-lagi K dengan gaya melas-melas seperti biasanya meminjam uang kepada saya untuk membayar tebusan tersebut. Dan kali ini sang oknum polisi tersebut malah ikut-ikutan menghubungi saya lewat WA, intinya dia minta salam 86 alias sejumlah uang tertentu (di atas Rp 1.500.000) sebagai jaminan pembebasan K, dan dia meminta uang tersebut ditransfer sebelum batas waktu tertentu. Kalau saja saya tidak dikuasai rasa takut/panik, seharusnya bisa langsung mengecek nomor WA tersebut lewat aplikasi Get Contact/True Caller, apakah itu nomor polisi sungguhan yang sudah punya reputasi, ataukah hanya orang yang menyamar sebagai polisi gadungan dengan nomor abal-abal.

Namun lagi-lagi saya mengambil langkah yang salah dengan tetap meladeni skenario K, malahan jadi semakin parah. Karena uang saya sudah mulai menipis, alhasil saya mulai meminjam uang ke beberapa teman dan keluarga. Hingga detik itu saya masih berpikir dengan naifnya bahwa pasti dalam hitungan hari uangnya akan kembali, jadi utang saya ke teman-teman yang lain maupun keluarga pasti bisa segera lunas. Dan ternyata itu menjadi blunder terbesar yang pernah saya lakukan seumur hidup. Begitu memasuki awal Juli, utang K ke saya sudah jauh membengkak menjadi ±Rp 15 juta!!

 

Diperingatkan

Kesalahan saya yang kedua adalah: saya tidak mau cerita ke siapa-siapa perihal masalah ini. Ya, memang saya akui bahwa saya adalah orang yang cukup introvert. Saya tidak terlalu suka diekspos/menjadi pusat perhatian, dan lebih suka menyimpan masalah sendirian, karena sungkan kalau sampai harus merepotkan orang lain. Namun untuk kasus kali ini, seharusnya sejak awal saya cerita ke orang terdekat agar bisa sama-sama menemukan solusi lebih cepat, sehingga tidak perlu terjerumus terlalu dalam.

Partner bisnis saya, pada akhirnya curiga akan gelagat saya dalam 2-3 minggu terakhir. Awalnya saya berusaha menyembunyikan permasalahan ini dari dia karena (lagi-lagi) sungkan untuk merepotkan orang lain, namun dia tetap memaksa saya untuk menceritakan semuanya karena dia tau ada yang tidak beres. Seperti yang bisa diprediksi, pada akhirnya dia pun marah besar ke saya karena tindakan bodoh ini. Di hari itu, saya diharuskan untuk memblokir semua nomor WA yang ada hubungannya dengan K, dan merelakan Rp 15 juta saya melayang, lalu move on.

 

Teror

Selama beberapa hari, tidak ada lagi nomor baru yang menghubungi saya. Sejenak situasi berangsur-angsur normal lagi. Namun, sekitar pertengahan Juli, tiba-tiba ada nomor asing yang menghubungi saya, ngaku-ngaku sebagai adik sepupu perempuannya K, sebut saja dia Z.

Z mengaku akan memperjuangkan agar uang saya bisa kembali. Menurut ceritanya, K pada akhirnya berhasil dilepas oleh para oknum polisi tersebut perihal kasus keduanya, lalu sudah dipindahkan ke Kalimantan oleh salah satu omnya, sehingga segala hal-hal yang berhubungan dengan utang-utang K mulai hari itu urusannya dengan Z. Di saat seperti ini, seharusnya saya setidaknya lapor ke partner bisnis saya agar bisa mengambil keputusan bersama dengan pikiran jernih, dan menyelidiki apakah Z itu nyata, ataukah hanya ‘tokoh fiksi’ karangan K agar bisa memanipulasi saya lagi. Karena di titik tersebut saya sudah tidak bisa menilai lagi mana yang nyata dan mana yang hanya karangan, semuanya tampak begitu meyakinkan.

Dan lagi-lagi (bodohnya) saya tetap membandel dengan tetap meladeni Z tanpa lapor ke partner bisnis saya. Seolah tidak kapok dengan kejadian sebelumnya, saya langsung percaya saja dengan skenario Z. Skenario pertama adalah dia bercerita bahwa uang hasil penjualan mobil K tersebut (yang bernilai ±Rp 89,5 juta) akan dimasukkan ke dalam rekening bank yang baru. Namun agar rekening tersebut aktif, maka harus ada minimal satu kali transaksi masuk minimal senilai Rp 500.000. Dengan kondisi pikiran yang sudah kalap dan putus asa, saya pun lagi-lagi mentransfer sejumlah uang yang diminta oleh Z tersebut. Saya masih berpikir dengan naifnya bahwa begitu rekening Z sudah aktif, maka seluruh utang K plus Rp 500.000-nya akan segera ditransfer balik ke saya, sehingga di hari itu juga saya pun bisa melunasi segala utang ke keluarga beserta teman-teman yang lain, lalu semuanya beres.

Ternyata saya salah, begitu masalah dengan bank selesai, muncul lagi (skenario) masalah baru. Uang hasil penjualan mobil tersebut ternyata jadi sengketa saudara-saudaranya K. Intinya, banyak dari sanak saudaranya yang meminta jatah sekian persen dari uang itu. Lalu pada akhirnya, salah satu om dari K akhirnya menyita kartu ATM beserta akun m-banking dari rekening Z. Dari situ masalah bergulir semakin parah saja.

Orang yang mengaku sebagai om dari K tersebut, sebut saja X, tidak lama kemudian menghubungi WA saya. Kali ini bukan dengan gaya memelas/memohon-mohon lagi seperti K, tetapi hitungannya sudah mengancam. Dia bilang baru akan mengembalikan uang saya bila sebelumnya saya mentransfer dia sejumlah uang tertentu, bila tidak mau, maka (katanya) saya akan diseret ke ranah hukum. Di titik itu saya sudah agak sedikit “tersadarkan” (atau lebih tepatnya skeptis/curiga), sekalipun belum sepenuhnya bisa berpikir jernih juga. Bagaimana mungkin saya diseret ke ranah hukum? Atas dasar apa? Wong saya yang memiliki piutang kok malah dituduh yang aneh-aneh? Ini tidak masuk akal. Lagian kalau saya jadi X, bila memang sudah ada uang di tangan, ya tinggal ambil saja jatah sekian persen dari yang dikehendaki, lalu sehabis itu transfer baliklah uangnya ke saya sesuai dengan jumlah utang dari K tanpa bertele-tele lagi, beres kan?

Nyatanya tidak. Sepertinya mereka memang adalah keluarga yang toxic, yang hanya menilai segala sesuatunya dengan uang tanpa memiliki empati. X pun bersikeras meminta sejumlah uang dari saya dengan berbagai alasan yang kesannya dibuat-buat, dengan iming-iming akan segera mengembalikan uang saya bila permintaannya dipenuhi. Sadar akan bahaya yang mengancam, saya pun akhirnya memblok nomor WA dari X, dan komunikasi berikutnya berlanjut dengan Z. Sampai di situ saya bisa dibilang cukup berhasil karena sudah mulai berani bersikap tegas.

Selang beberapa hari, ada nomor lain yang menghubungi saya. Kali ini dia ngakunya sebagai notaris, sebut saja N. Dia berkata bahwa uang sejumlah utang K ke saya ada cash di dia dalam sebuah tas. Hanya saja, menurut pengakuan N, X sudah membuat surat perjanjian resmi di atas materai dengan dia. Isi dari perjanjian tersebut adalah saya diharuskan mentransfer Rp 2.000.000 ke X dalam batas waktu tertentu, baru setelah itu utang K ke saya akan diberikan secara tunai. Apabila sampai tidak dilakukan, maka (katanya) dia akan mengirimkan surat penangkapan ke alamat saya, lalu N juga mengaku pihaknya sudah menjalin kerja sama dengan Polda Jatim dalam menangani kasus-kasus sengketa hukum.

Makin paniklah saya saat itu, ditambah lagi tetap bersikeras tidak mau bilang ke partner bisnis saya bila masih diteror, maka sebuah blunder fatal pun saya lakukan lagi, yaitu menambah utang ke teman-teman yang lain, khususnya dari teman-teman Parkour Jawa Timur, dengan asumsi uang akan dikembalikan hari itu juga, atau paling telat dalam satu atau dua hari. Saat itu saya sudah dalam kondisi stres dan tidak bisa mikir lagi, saya hanya ingin ini semua berakhir dan bisa menjalani kehidupan dengan normal seperti biasanya. Namun sepertinya mereka semua tidak mau membiarkan saya hidup dengan tenang, berbagai teror dan intimidasi terus berdatangan masuk ke WA saya dengan berbagai nomor yang berbeda. Malah terakhir Z ikut-ikutan memeras saya dengan melaporkan saya ke lembaga notarisnya N, agar memberikan bagian dia Rp 700.000 sebagai kompensasi “jerih payah” dia dalam memperjuangkan uang saya kembali, bila tidak mau, maka saya diancam akan dipidanakan. Dengan panik dan kalap saya pun lagi-lagi berutang ke teman yang lain, dan tau-tau, total utang K ke saya sudah mencapai ±Rp 25 juta!!



Cepat atau lambat, pada akhirnya partner bisnis saya pun tau bahwa selama ini saya tetap meladeni para pelaku di belakang dia. Maka malam itu murkalah dia terhadap saya, dan makinlah saya stres dengan situasi yang memburuk ini, ditambah rasa bersalah yang luar biasa terhadap partner bisnis saya beserta teman-teman lain maupun keluarga yang saya utangi. Partner bisnis saya pun akhirnya melaporkan insiden ini ke orang tua saya yang tinggal di luar kota, karena tindakan saya tersebut saya akui memang sudah keterlaluan dan melewati batas.

 

Stres dan Depresi

Yang saya takutkan pun akhirnya terjadi, malam itu bapak dan ibu saya murka luar biasa di telepon. Segala caci maki, sumpah serapah, dan kata-kata kasar semuanya harus saya telan dengan sukarela. Malam itu bisa dibilang adalah malam terburuk dalam hidup saya. Saya berada di titik terendah serendah-rendahnya dalam hidup. Segala reputasi baik yang saya bangun selama ini runtuh seketika hanya karena tindakan bodoh dalam 1-2 bulan terakhir. Hingga subuh saya tidak bisa tidur dan hanya bisa merenungi nasib, menyesali berbagai kebodohan yang telah saya perbuat.



Untuk kedua kalinya dalam hidup, terbersit lagi dalam benak saya pikiran untuk bunuh diri. Sekedar info, sekitar tahun 2010-2011 lalu pikiran ini pertama kali muncul dalam benak saya ketika saat itu gagal total dalam studi maupun masalah percintaan. Kali ini pikiran tersebut menghantui saya kembali dengan kadar yang lebih parah. Intinya di titik tersebut saya benar-benar merasa tidak berguna lagi, buat apa hidup kalau bisanya cuma menyusahkan orang lain, saya cuma anak pembawa sial, bikin malu nama baik keluarga, dsb.

Menyadari kondisi saya yang sudah depresi ini, partner bisnis saya langsung mengambil tindakan pencegahan dengan menyita HP, kartu ATM, beserta kunci motor saya untuk sementara waktu, lalu saya diharuskan off dulu dari semua sosmed. Saya pun tinggal di bawah kontrol dan pengawasan dia demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Selain itu, tentunya saya dilarang parkour-an dulu sebelum utang-utang saya semuanya dilunasi. Partner bisnis saya pun pada akhirnya melaporkan kasus ini ke polisi yang kebetulan merupakan kenalan dari salah satu rekan bisnis kita. Semua nomor WA, rekaman chat, bukti transaksi, dan rekening tujuan milik si pemeras; semuanya telah dilaporkan. Saya sendiri tidak tau apakah kasus ini didalangi oleh K seorang, di mana dia menyamar sebagai Z, X, N, dan orang-orang lainnya demi memeras saya; ataukah K, Z, X, N, memang adalah orang-orang yang berbeda namun telah bekerja sama dalam suatu komplotan sindikat kejahatan. Hal tersebut benar-benar di luar kendali saya, lebih baik serahkan saja kasus ini ke pihak berwenang, karena saya sudah muak untuk memikirkan itu lagi.

 

     Proses Pemulihan    

     

     

Selama satu bulan pertama sejak kemarahan orang tua saya di telepon, pikiran saya benar-benar kacau. Beberapa kali saya dihantui mimpi buruk saat tidur, dan hampir tiap saat selalu dibayang-bayangi rasa bersalah terhadap semua orang yang saya utangi. Di dalam kepala saya, ada sebuah “pertarungan sengit” antara pikiran ingin bunuh diri vs pikiran positif untuk bangkit. Mungkin bagi orang lain kelihatannya ini adalah hal sepele, namun pada praktiknya tidaklah semudah teori atau kutipan kata-kata motivasi belaka. Rasanya seperti ada sesosok iblis/monster muncul dari dalam kepala yang merasuki akal sehat saya. Lalu tiba-tiba saja muncul sebuah keinginan untuk melukai/menyakiti diri sendiri. Bila tidak bisa dikontrol, tidak menutup kemungkinan saya sudah bunuh diri.

Beruntung ada partner bisnis saya yang mengawasi dan mengontrol kehidupan saya untuk sementara waktu. Setidaknya motivasi dari dia membuat saya tetap waras agar tidak self-harming dan mau berjuang untuk bangkit lagi. Perlahan tapi pasti, kondisi mental saya pun berangsur pulih. Saya mulai berjuang mengumpulkan uang lagi sedikit demi sedikit agar bisa segera melunasi utang terhadap teman-teman maupun keluarga.


 Pelunasan Utang

Empat bulan hidup dalam perasaan bersalah luar biasa tentunya bukanlah hal yang menyenangkan. Ditambah lagi saya harus menjalani “skorsing” semua medsos dengan tidak boleh berhubungan dengan siapapun (kecuali orang tua dan klien-klien yang berhubungan dengan pekerjaan), rasanya seperti kehilangan separuh nyawa, atau bagi penggemar serial Harry Potter, rasanya hampir seperti diberi kecupan Dementor. Yang bisa saya lakukan selama periode ini (selain urusan pekerjaan) hanyalah merenung dan mengevaluasi diri, pelajaran apa yang dapat diambil dari insiden ini.



Seperti pepatah bilang, habis gelap terbitlah terang, pada akhirnya hari yang dinanti-nantikan pun tiba di tanggal 4 Desember lalu. Seiring ditransfernya sejumlah bayaran dari salah satu klien, maka resmi seluruh utang saya 100% lunas. Bisa dibayangkan betapa leganya hati ini, dan saya pun sudah dapat bersosmed seperti sediakala lagi. Hanya saja, dalam rangka “buang sial”, saya putuskan mengganti nomor telepon/WA agar di kemudian hari tidak dihubungi lagi oleh K beserta komplotannya.

Lalu bagaimana dengan kelanjutan pelaporan terhadap K? Hingga hari ini, kabar terakhir yang saya terima adalah “masih dalam penyidikan”. Status K memang sudah menjadi DPO (daftar pencarian orang), namun perihal kapan K bisa tertangkap, lebih baik saya tidak usah terlalu banyak berharap. Lebih baik waktu dan energi saya disalurkan ke hal-hal yang lebih penting, khususnya dalam hal pekerjaan agar status finansial saya bisa pulih seperti sediakala.

 

Penutup

Bagi yang membaca tulisan ini, saya hanya berpesan agar berhati-hati perihal masalah pinjam-meminjam uang, jangan mudah percaya dengan orang lain yang belum terlalu dekat, siapa pun itu. Boleh berempati, namun tetap harus waspada, apalagi di masa pandemi seperti sekarang banyak oknum-oknum yang menghalalkan segala cara untuk mencari uang.

Memang dalam hidup, tidaklah selalu hal-hal baik saja yang terjadi dengan kita. Terkadang peristiwa buruk pun bisa menjadi pelajaran berharga yang mendewasakan. Jujur, tahun 2020 ini merupakan tahun terkutuk bagi saya, rasanya seperti mimpi buruk yang ingin segera dilupakan. Saya hanya bisa mengambil hikmah dari kejadian ini agar jangan sampai terulang lagi di masa depan.


Inilah K, orang yang hampir menghancurkan hidup saya. Dulu kita pernah kenal dan berteman di dalam suatu komunitas, namun sejak tragedi ini dia telah menjadi musuh nomor satu saya.

Comments

  1. "Nilai dari seorang pria bukan ditentukan dari apa yang dia punya, tapi apa yang masih dia miliki saat dia kehilangan segalanya"

    -Veteranmiliter

    Selamat, lo sudah memilih bangkit, masih banyak orang2 lain diluar sana yang memilih bundir.. alias menyerah, lo seorang pria sejati bro 👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. ok makasih Jer, semoga di 2021 kita semua bisa lebih baik lagi.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Cerita 28 Jam di Jombang

Ikut? Tidak? Ikut? Tidak? IKUT!!!

Semalam di Bojonegoro